berhijabitu bukan pilihan tetapi sebuah kewajiban - berhijab atau berjilbab mau segi empat ataupun segi tiga, pashmina, paris modern terbaru 2016 ataupun apapun namanya itu, yang pasti berhijab merupakan sebuah keharusan bukan sebuah pilihan, dia merupakan perintah agama yang harus di ikuti oleh setiap kaum muslimah, jikalau dia mau selamat
Berhijabtanpa nanti, karena mati itu pasti , by @shinyhijab.
Vay Tiền Nhanh. Banyak orang berlebihan menggunakan istilah an-nizhâm al-ijtimâî untuk menyebut seluruh peraturan kehidupan bermasyarakat. Penggunaan istilah ini salah. Istilah yang lebih tepat untuk menyebut peraturan kehidupan bermasyarakat adalah anzhimah al-mujtama sistem sosial. Sebab sistem ini hakikatnya mengatur seluruh interaksi yang terjadi dalam suatu masyarakat tertentu tanpa memperhatikan ada-tidaknya aspek ijtimâ pergaulan/pertemuan pria-wanita, pen. Dalam sistem sosial, tidaklah diperhatikan adanya ijtimâ, karena yang dilihat hanyalah interaksi-interaksi yang ada. Dari sini, muncullah berbagai macam peraturan sistem yang bermacam-macam sesuai jenis dan perbedaan interaksinya, yang mencakup aspek ekonomi, pemerintahan, politik, pendidikan, pidana, mu’amalat, pembuktian, dan lain sebagainya. Dengan demikian, penggunaan istilah an-nizhâm al-ijtimâî untuk menyebut sistem sosial tidaklah beralasan dan tidak sesuai dengan fakta. Lebih dari itu, kata al-ijtimâî adalah kata sifat bagi sistem nizham. Pengertiannya, sistem tersebut dibuat hendaknya untuk mengatur berbagai problem yang muncul dari ijtimâ pergaulan/pertemuan pria-wanita, pen atau berbagai interaksi alaqah yang timbul dari ijtimâ tersebut. Pergaulan ijtima’ seorang pria dengan sesama pria atau seorang wanita dengan sesama wanita tidak memerlukan peraturan. Sebab, pergaulan sesama jenis tidak akan menimbulkan problem ataupun melahirkan berbagai interaksi yang mengharuskan adanya seperangkat peraturan. Pengaturan kepentingan di antara keduanya hanyalah memerlukan sebuah peraturan nizham karena faktanya mereka hidup bersama dalam satu negeri, sekalipun mereka tidak saling bergaul. Adapun pergaulan antara pria dan wanita atau sebaliknya, maka itulah yang menimbulkan berbagai problem yang memerlukan pengaturan dengan suatu peraturan nizham tertentu. Pergaulan pria wanita itu pulalah yang melahirkan berbagai interaksi yang memerlukan pengaturan dengan suatu peraturan tertentu. Maka peraturan pergaulan pria-wanita seperti inilah sesungguhnya yang lebih tepat disebut sebagai an-nizhâm al-ijtimâî. Alasannya, sistem inilah yang pada hakikatnya mengatur pergaulan antara dua lawan jenis pria dan wanita serta mengatur berbagai interaksi yang timbul dari pergaulan tersebut. Oleh karena itu, pengertian an-nizhâm al-ijtimâî dibatasi hanya untuk menyebut sistem yang mengatur pergaulan pria-wanita dan mengatur interaksi/hubungan yang muncul dari pergaulan tersebut, serta menjelaskan setiap hal yang tercabang dari interaksi tersebut. An-nizhâm al-ijtimâî tidak mengatur interaksi yang muncul dari kepentingan pria-wanita dalam masyarakat. Maka aktivitas jual-beli antara pria dan wanita atau sebaliknya, misalnya, termasuk ke dalam kategori sistem sosial anzhimah al-mujtama, bukan termasuk dalam an-nizhâm al-ijtimâî. Sementara itu, larangan ber-khalwat berdua-duaan antara pria dan wanita, kapan seorang istri memiliki hak mengajukan gugatan cerai, atau sejauh mana seorang ibu memiliki hak pengasuhan anak, termasuk dalam kategori an-nizhâm al-ijtimâî. Atas dasar inilah, an-nizhâm al-ijtimâî didefinisikan sebagai sistem yang mengatur pergaulan pria dan wanita atau sebaliknya serta mengatur hubungan/interaksi yang muncul dari pergaulan tersebut dan segala sesuatu yang tercabang dari hubungan tersebut. Pemahaman masyarakat, lebih-lebih kaum Muslim, terhadap sistem pergaulan pria wanita an-nizhâm al-ijtimâî dalam Islam mengalami kegoncangan dahsyat. Pemahaman mereka amat jauh dari hakikat Islam, dikarenakan jauhnya mereka dari ide-ide dan hukum-hukum Islam. Kaum Muslim berada di antara dua golongan. Pertama, orang-orang yang terlalu melampaui batas tafrith, yang beranggapan bahwa termasuk hak wanita adalah berdua-duaan berkhalwat dengan laki-laki sesuai kehendaknya dan keluar rumah dengan membuka auratnya dengan baju yang dia sukai. Kedua, orang-orang yang terlalu ketat ifrath, yang tidak memandang bahwa di antara hak wanita ialah melakukan usaha perdagangan atau pertanian. Mereka pun berpandangan bahwa wanita tidak boleh bertemu dengan pria sama sekali, dan bahwa seluruh badan wanita adalah aurat termasuk wajah dan telapak tangannya. Karena adanya sikap dua golongan ini, yakni yang terlalu melampaui batas dan yang terlalu ketat, runtuhlah akhlak dan muncullah kejumudan berpikir. Akibatnya, timbul keretakan dalam interaksi sosial dan kegelisahan di tengah keluarga-keluarga muslim. Timbul pula banyak kemarahan dan keluhan di antara anggota keluarga serta berbagai perselisihan dan permusuhan di antara mereka. Oleh karena itu, muncullah perasaan perlu untuk menciptakan keluarga yang utuh dan bahagia yang memenuhi jiwa seluruh kaum Muslim. Upaya untuk mencari solusi guna mengatasi problem inipun telah menyibukkan pikiran banyak orang. Muncullah berbagai macam upaya untuk mengatasi problem ini. Ada yang menulis buku-buku yang menjelaskan pemecahan problem interaksi pria-wanita dan memasukkan beberapa koreksi atas undang-undang peradilan agama atau undang-undang pemilu. Banyak juga pihak yang berupaya menerapkan pendapat-pendapatnya pada keluarga mereka sendiri, seperti isteri, saudara perempuan, dan anak-anak perempuan mereka. Ada pula kalangan yang memasukkan beberapa koreksi atas peraturan sekolah dengan memisahkan siswa laki-laki dan siswa perempuan. Demikianlah, telah lahir berbagai upaya yang beraneka ragam. Akan tetapi, seluruh upaya mereka itu belum menghasilkan pemecahan dan belum berhasil menemukan suatu sistem pergaulan pria-wanita. Mereka belum pula menemukan satu jalan pun untuk melakukan perbaikan. Hal ini terjadi karena sebagian besar kaum Muslim tidak memahami masalah hubungan antar dua lawan jenis laki-laki dan perempuan. Akibatnya mereka tidak mengetahui metode yang memungkinkan kedua lawan jenis itu untuk tolong menolong sehingga menghasilkan kebaikan bagi umat dengan adanya tolong menolong itu. Mereka benar-benar tidak memahami ide-ide dan hukum-hukum Islam yang berkaitan dengan pergaulan pria wanita. Faktor inilah yang menjadikan mereka sibuk berdiskusi dan berdebat seputar metode untuk mengatasi persoalan dan malah terjauhkan dari mengkaji hakikat persoalan yang sebenarnya. Keresahan dan kegoncangan pun semakin menjadi-jadi akibat upaya-upaya mereka. Timbullah di masyarakat sebuah jurang yang dikhawatirkan mengancam eksistensi umat Islam, sebagai satu umat yang unik dengan berbagai karakter-karakter khasnya. Dikhawatiran rumah tangga Islam akan kehilangan identitas keislamannya dan kehilangan kecemerlangan pemikiran Islam serta terjauhkan dari penghormatan akan hukum-hukum dan pandangan-pandangan Islam.
Pakaian penutup kepala perempuan di Indonesia semula lebih umum dikenal dengan kerudung, tetapi permulaan tahun 1980-an lebih populer dengan jilbab. Jilbab berasal dari akar kata jalaba, berarti menghimpun dan membawa. Jilbab pada masa Nabi Muhammad SAW ialah pakaian luar yang menutupi segenap anggota badan dari kepala hingga kaki perempuan dewasa. Jilbab dalam arti penutup kepala hanya dikenal di Indonesia. Di beberapa negara Islam, pakaian sejenis jilbab dikenal dengan beberapa istilah, seperti chador di Iran, pardeh di India dan Pakistan, milayat di Libya, abaya di Irak, charshaf di Turki, hijâbdi beberapa negara Arab-Afrika seperti di Mesir, Sudan, dan Yaman. Hanya saja pergeseran makna hijâb dari semula berarti tabir, berubah makna menjadi pakaian penutup aurat perempuan semenjak abad ke 4 Hijriyah. Penulis Nong Darol MahmadaFoto Privat Jilbab Pra-Islam Terlepas dari istilah yang dipakai, sebenarnya konsep hijab bukanlah milik' Islam. Misalnya dalam kitab Taurat, kitab suci agama Yahudi, sudah dikenal beberapa istilah yang semakna dengan hijâb seperti if'eret. Demiki-an pula dalam kitab Injil yang merupakan kitab suci agama Nasrani juga ditemukan istilah semakna. Misalnya istilah zammah, re'alah, zaif dan mitpahat. Bahkan kata Eipstein yang dikutip Nasaruddin Umar dalam tulisannya yang pernah dimuat di Ulumul Quran, konsep hijâb dalam arti penutup kepala sudah dikenal sebelum adanya agama-agama Samawi Yahudi dan Nasrani. Bahkan kata pak Nasar, pakaian seperti ini sudah menjadi wacana dalam Code Bilalama SM, kemudian berlanjut di dalam Code Hammurabi SM dan Code Asyiria SM. Ketentuan penggunaan jilbab sudah dikenal di beberapa kota tua seperti Mesopotamia, Babilonia, dan Asyiria. Kompas, 25/11/02. Tradisi penggunaan kerudung pun sudah dikenal dalam hukum kekeluargaan Asyiria. Hukum ini mengatur bahwa isteri, anak perempuan dan janda bila bepergian ke tempat umum harus menggunakan kerudung. Dan kalau merunut lebih jauh mengenai konsep ini, ketika Adam dan Hawa diturunkan ke bumi, maka persoalan pertama yang mereka alami adalah bagaimana menutup kemaluan mereka aurat QS. Thaha/20 121. Karena itu tak heran, dalam literatur Yahudi ditemukan bahwa penggunaan hijâb berawal dari dosa asal. Yaitu dosa Hawa yang menggoda suaminya, Adam. Dosa itu adalah membujuk Adam untuk memakan buah terlarang. Akibatnya, Hawa beserta kaumnya mendapat kutukan. Tidak hanya kutukan untuk memakai hijab tetapi juga mendapat siklus menstruasi dengan segala macam aturannya. Jilbab dalam Tradisi Islam Nah, berbeda dengan konsep hijâb dalam tradisi Yahudi dan Nasrani, dalam Islam, hijâb tidak ada keterkaitan sama sekali dengan kutukan atau menstruasi. Dalam konsep Islam, hijâb dan menstruasi pada perempuan mempunyai konteksnya sendiri-sendiri. Aksentuasi hijâb lebih dekat pada etika dan estetika dari pada ke persoalan substansi ajaran. Pelembagaan hijâb dalam Islam di-dasarkan pada dua ayat dalam Alqur'an yaitu QS. Al-Ahzab/ 33 59 dan QS. An-Nur/24 31. Kedua ayat ini saling menegaskan tentang aturan berpakaian untuk perempuan Islam. Pada surat An-Nur, kata khumur merupakan bentuk plural dari khimar yang artinya kerudung. Sedangkan kata juyub merupakan bentuk plural dari dari kata jaib yang artinya adalah ash-shadru dada. Jadi kalimat hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dada-nya ini merupakan reaksi dari tradisi pakaian perempuan Arab Jahiliyah. Seperti yang digambarkan oleh Al-Allamah Ibnu Katsir di dalam tafsirnya “Perempuan pada zaman jahiliyah biasa melewati laki-laki dengan keadaan telanjang dada tanpa ada selimut sedikitpun. Bahkan kadang-kadang mereka memperlihatkan lehernya untuk memperlihatkan semua perhiasannya”. Sementara itu Imam Zarkasyi memberikan komentarnya mengenai keberadaan perempuan pada masa jahiliyah “Mereka mengenakan pakaian yang membuka leher bagian dadanya, sehingga tampak jelas seluruh leher dan urat-uratnya serta anggota sekitarnya. Mereka juga menjulurkan kerudung mereka ke arah belakang, sehingga bagian muka tetap terbuka. Oleh karena itu, maka segera diperintahkan untuk mengulurkan kerudung di bagian depan agar bisa menutup dada mereka”. Pakaian yang memperlihatkan dadanya ini pernah dilakukan Hindun binti Uthbah ketika memberikan semangat perang kaum kafir Mekah melawan kaum muslim pada perang Uhud. Dan ini biasa dilakukan perempuan jahiliyah dalam keterlibatannya berperang untuk memberikan semangat juang. Selain karena faktor kondisional seperti yang digambarkan di atas, kedua ayat ini juga turunnya lebih bersifat politis, diskriminatif dan elitis. Surat Al-Ahzab yang didalamnya terdapat ayat hijab turun setelah perang Khandaq 5 Hijriyah. Sedangkan surat An-Nur turun setelah al-Ahzab dan kondisinya saat itu sedang rawan. Bersifat politis sebab ayat-ayat di atas turun untuk menjawab serangan yang dilancarkan kaum munafik, dalam hal ini Abdullah bin Ubay dan konco-konconya, terhadap umat Islam. Memakai perempuan untuk memfitnah? Serangan kaum munafik ini “memakai” perempuan Islam dengan cara memfitnah istri-istri Nabi, khususnya Siti Aisyah. Peristiwa terhadap Siti Aisyah ini disebut peristiwa al-ifk. Pada saat itu, peristiwa ini sangat menghebohkan sehingga untuk mengakhiri-nya harus ditegaskan dengan diturunkannya lima ayat yaitu QS. An-Nur/23 11-16. Ayat-ayat ini juga turun di saat kondisi sosial pada saat itu tidak aman seperti yang diceritakan di atas. Gangguan terhadap perempuan-perempuan Islam sangat gencar. Semua ini dalam rangka menghancurkan agama Islam. Maka ayat itu ingin melindungi perempuan Islam dari pelecehan itu. Menurut Abu Syuqqah, perintah untuk mengulurkan jilbab pada ayat di atas, mengandung kesempurnaan pembedaan dan kesempurnaan keadaan ketika keluar. Dan Allah SWT telah menyebutkan alasan perintah berjilbab dan pengulurannya. Firman-Nya, Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dalam hal ini, untuk membedakan perempuan merdeka dan perempuan budak. Ambiguitas Islam Inilah yang dipahami bersifat elitis dan diskriminatif. Karena dengan ayat ini, ingin membedakan status perempuan Islam yang merdeka dan kaum budak. Di sini dapat dilihat ambiguitas Islam dalam melihat posisi budak. Satu sisi ingin menghancurkan perbudakan, di sisi lain, masih mempertahankannya dalam strata masyarakat Islam misalnya dalam perbedaan berpakaian. Namun menurut saya, untuk menghindari penafsiran ambigu tersebut, maka titik tekan penafsiran itu adalah etika moral ayat itu. Yaitu tidak hanya sebagai aturan dalam berpakaian saja. Sehingga tidak ada perbedaan antara perempuan merdeka dengan budak, tetapi lebih pada suruhan untuk sopan dan bersahaja modesty yang bisa dilakukan siapa saja. Dalam dunia Islam, banyak ditulis buku tentang tentang hijâb, yang dalam pengertian luasnya menyebutkan pakaian perempuan Islam yang baik, pemisahan perempuan dan pembatasan kontak perempuan dengan laki-laki yang bukan keluarganya. Ayat-ayat di atas yang berkenaan dengan isu ini tidak memberikan perintah yang tersurat bagi perempuan Islam. Ini hanya membicarakan kesopanan perempuan pada umumnya dan menetapkan peraturan bagi isteri-isteri Nabi. Seperti pernah dikemukakan Fatima Mernissi dalam buku Wanita dalam Islam, dalam masa-masa awal kehidupan Islam, ruang yang diciptakan Nabi sepertinya tidak ada dikotomi antara ruang privat Nabi dan isteri-isterinya dengan kaum muslimin lainnya. QS. Al-Ahzab/3353 menegaskan akan ruang privat Nabi dan isteri-isterinya yang berarti diduga sebelumnya tidak ada dikotomi publik dan privat. Menurut Ruth Rodded dalam bukunya Kembang Peradaban, sampai sekarang masih terjadi perbedaan pendapat mengenai makna dan penerapan praktis ayat-ayat hijâb. Perbedaan pendapat ini juga berkisar pada definisi-definisi yang tepat mengenai kata-kata tertentu termasuk istilah hijâb, konteksnya dan apakah peraturan yang ditetapkan untuk isteri-isteri Nabi harus menjadi norma bagi semua perempuan Islam. Namun seperti yang dikatakan Harun Nasution, “Pendapat yang mengatakan hijâb itu wajib, bisa dikatakan ya. Dan yang mengatakan tidak wajib pun bisa dijawab ya. Tapi batasan-batasan aturan yang jelas mengenai hijâb ini tidak ada dalam Alqur'an dan hadits-hadits mutawatir.” Islam Rasional, Jilbab adalah Budaya Nah, pandangan yang mengatakan bahwa jibab itu tak wajib salah satunya bisa kita temukan dalam pada karya Muhammad Sa'id Al-Asymawi yang berjudul Haqiqatul Hijab wa Hujjiyyatul Hadits. Dalam buku tersebut, Al-Asymawi berkata bahwa hadis-hadis yang menjadi rujukan tentang pewajiban jilbab atau hijâb itu adalah Hadis Ahad yang tak bisa dijadikan landasan hukum tetap. Bila jilbab itu wajib dipakai perempuan, dampaknya akan besar. Seperti kutipannya “Ungkapan bahwa rambut perempuan adalah aurat karena merupakan mahkota mereka. Setelah itu, nantinya akan diikuti dengan pernyataan bahwa mukanya, yang merupakan singgasana, juga aurat. Suara yang merupakan kekuasaannya, juga aurat; tubuh yang merupakan kerajaannya, juga aurat. Akhirnya, perempuan serba-aurat.” Implikasinya, perempuan tak bisa melakukan aktivitas apa-apa sebagai manusia yang diciptakan Allah karena serba aurat. Selama ini, kita terbiasa membaca buku atau pernyataan tentang kewajiban jilbab disertai ayat Alqur'an dan Hadis serta ancaman bila perempuan Islam tak memakainya. Buku ini, secara blak-blakan, mengurai bahwa jilbab itu bukan kewajiban. Bahkan tradisi berjilbab di kalangan sahabat dan tabi'in, menurut Al-Asymawi, lebih merupakan keharusan budaya daripada keharusan agama. Saya menulis artikel ini bukan berarti saya fobia atau over estimate terhadap jilbab. Sepanjang pemakaian jilbab itu dikarenakan atas kesadaran sebagai sebuah pilihan dan sebagai ekspresi pencarian jati diri seorang perempuan muslimah, tidak ada unsur paksaan dan tekanan, saya sangat menghormati dan menghargainya. Penulis Nong Darol Mahmada adalah aktivis perempuan yang tulisan-tulisannya sering dimuat di media nasional, editor beberapa buku dan pembicara di berbagai konferensi internasional. Ia juga merupakan Direktur Eksekutif Omah Munir, Museum HAM di Indonesia. *Setiap tulisan yang dimuat dalam DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.
Rabu, 26 Zulqaidah 1444 H / 29 Januari 2020 2205 wib views Oleh Siti Komariah, S. Pd. I Sebuah peryataan nyeleneh kembali menghampiri bumi pertiwi. Kini dapat dari Sinta Nuriyah, istri Presiden RI ke-4 Abdurrahman Wahid atau Gus Dur mengatakan bahwa perempuan muslim tidak wajib untuk memakai jilbab. Ia pun menyadari bahwa masih banyak orang yang keliru mengenai kata jilbab dan hijab. Menurut dia, hijab tidak sama pengertiannya dengan jilbab. "Hijab itu pembatas dari bahan-bahan yang keras seperti kayu, kalau jilbab bahan-bahan yang tipis seperti kain untuk menutup," kata Sinta di YouTube channel Deddy Corbuzier pada Rabu, 15 Januari 2020. Ia mengakui bahwa setiap muslimah tidak wajib untuk mengenakan jilbab karena memang begitu adanya yang tertulis di Al Quran jika memaknainya dengan tepat. "Enggak juga semua muslimah harus memakai jilbab, kalau kita mengartikan ayat dalam Al Quran itu secara benar," kata Sinta, 16/1/2020. Narasi Sesat Liberalisme Entah apa yang merasuki istri mendiang presiden ke-4 RI tersebut, hingga Ia bisa mengatakan bahwa jilbab tak wajib bagi seorang muslimah. Padahal, ribuan tahun lalu jilbab merupakan sebuah kewajiban mutlak yang diperintahkan oleh Allah Swt, bukan sebuah pilihan. Yang mana, jika seorang wanita telah aqil baligh, maka dia wajib untuk mengenakan jilbab ketika hendak keluar rumah. Tidak ada alasan apapun untuk tidak memakainya. Jika ditelisik kembali, pernyataan istri mendiang presiden ke -4 RI tersebut merupakan sebuah pengkhianatan terhadap Syariat Allah. Sehingga harusnya masyarakat muslim wajib marah dan menuntut peryataan tersebut. Namun apalah daya, di negeri mayoritas muslim ini, hal tersebut seakan bukan menjadi masalah besar. Sebagian besar masyarakat diam tak bereaksi, bahkan penguasa pun juga terdiam. Padahal, hal tersebut merupakan narasi sesat kaum liberalisme. Hal ini membuktikan bahwa sistem kapitalis liberal telah mendarah daging dalam diri sebagian kaum muslim. Sehingga tak sedikit dari kaum muslimah yang menyambut peryataan Sinta Nuriyah dengan apik, dan gembira, apalagi mereka yang alergi dengan syariat Islam. Yach, kaum liberal telah berhasil mempropagandakan syariat Islam di tengah-tengah masyarakat muslim sendiri. Mereka sejak lama telah berupaya menjauhkan umat muslim dari agamanya sendiri. Salah satunya melakukan dejilbabisasi. Yang mana, jilbab dan khimar di tuduh sebagai pakaian yang tak sesuai zaman, jilbab penghasil limbah, menghalangi tubuh mendapatkan vitamin D, dan lain sebagaianya. Mereka dengan sekuat pikiran berupaya menyesatkan kaum muslimah dari salah satu kewajibannya. Tak hanya itu, mereka berupaya membenturkan syariat Islam dengan budaya agar ayat-ayat al-qur'an dapat mengikuti zaman. Mereka menafsirkan ayat-ayat Allah sesuka hati mereka, tanpa merujuk pada pemahaman yang benar. Padahal, sejatinya rujukan yang benar hanyalah bersandar pada Al-qur'an dan Hadis Rasulullah. Aku tinggalkan untuk kalian dua perkara [pusaka]. Kalian tidak akan tersesat selama-lamanya selagi kalian berpegang teguh padakeduanya, yaitu Kitab Allah Alquran dan sunahRasul. HR Malik, Muslim dan Ash-hab al-Sunan. Di lain sisi, negara pun seakan ikut mendukung berbagai narasi yang menyesatkan ajaran Islam. Negara seakan membiarkan orang-orang yang mencabik-cabik syariat Allah bebas berkeliaran. Para penguasa enggan berkomentar, bahkan walaupun diberikan hukuman, hukumannya pun hanya berakhir dengan kata maaf. Padahal, seharusnya negara hadir sebagai pelindung utama dalam menjaga syariat Allah. Negara juga harus hadir sebagai pendorong rakyatnya melaksanakan syariat Allah, seperti jilbab dan khimar bagi seorang wanita. Pengertian Jilbab Dalam Lisanul Arob, jilbab adalah pakaian yang lebar yang lebih luas dari khimar kerudung berbeda dengan selendang rida dipakai perempuan untuk menutupi kepala dan dadanya.[1] Jadi kalau kita melihat dari istilah bahasa itu sendiri, jilbab adalah seperti mantel karena menutupi kepala dan dada sekaligus. Ibnu Katsir rahimahullah menerangkan bahwa jilbab adalah pakaian atas rida yang menutupi khimar. Asy Syaukani rahimahullah berkata bahwa jilbab adalah pakaian yang ukurannya lebih besar dari khimar. Ada ulama yang katakan bahwa jilbab adalah pakaian yang menutupi seluruh badan wanita. Sehingga jilbab dan khimar merupakan pakaian wajib seorang wanita saat hendak keluar rumah. Seluruh wanita harus menyadari bahwa jilbab dan khimar merupakan pakaian mereka. Kewajiban Berjilbab Siapa bilang jilbab tak wajib? Jika kita mengaku beriman kepada Allah, jelas kita akan meyakini bahwa apa yang dikatakan di dalam al-Qur'an adalah sebuah kebenaran dan merupakan kalamullah. Tentang jilbab Allah sendiri menfirmankannya ke dalam 2 surat yaitu, surat Al-Ahzab dan an-Nur. Firman Allah Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak- anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. QS. Al Ahzab 59. Ayat ini menunjukkan wajibnya jilbab bagi seluruh wanita muslimah. Ayat lain yang menunjukkan wajibnya jilbab dan khimar, Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman "Hendaklah mereka menahan pandanganya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat. Katakanlah kepada wanita yang beriman Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang biasa nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya, danjanganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera- putera suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara lelaki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita islam, atau budak- budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan terhadap wanita atau anak- anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Danjanganlah mereka memukulkan kakinyua agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung. QS. An Nur 30-31. Tak hanya itu, kewajiban berjilbab pun amat dijaga oleh Rasulullah saw saat ia menjadi kepala negara, hingga disaat seorang muslimah hendak keluar rumah, kemudian Ia tidak memiliki jilbab, maka muslimah lainnya hendaknya meminjamkannya. Hal tersebut terdapat dalam sabdanya. Dari Ummu Athiyyah, ia berkata, Pada dua hari raya, kami diperintahkan untuk mengeluarkan wanita-wanita haid dan gadis-gadis pingitan untuk menghadiri jamaah kaum muslimin dan doa mereka. Tetapi wanita-wanita haid harus menjauhi tempat shalat mereka. Seorang wanita bertanya, Wahai Rasulullah, seorang wanita diantara kami tidak memiliki jilbab bolehkan diakeluar? Beliau menjawab, Hendaklah kawannyameminjamkan jilbabnya untuk dipakai wanita tersebut. HR. Bukhari no. 351 dan Muslim no. 890. Para ulama pun sepakat berijma bahwa berjilbab itu wajib. Yang mereka perselisihkan adalah dalam masalah wajah dan kedua telapak tangan apakah wajib ditutupi ataukah tidak, karena hal itu ada sebagian ulama yang mewajibkannya, ada yang mensunnahkannya. Namun untuk jilbab jelas kewajibannya. Jilbab juga merupakan simbol kemuliaan seorang wanita. Mengingat Islam sangat memuliakan seorang wanita. Mereka diberikan derajat yang tinggi, bahkan kaum wanita diserupakan sebagai perhiasan dunia yang paling indah, jika ia menjadi wanita sholeha, yang membuat para bidadari surga iri terhadapnya. Allah mewajibkan jilbab kepada kaum muslimah tidak tanpa alasan. Dengan jilbab maka kehormatan dan kemuliaan seorang wanita akan terjaga, mereka akan mudah dikenali, mereka juga akan membuat teduh setiap insan yang memandangnya. Kebaikan dan keberkahan peradaban akan terpancar darinya, menjadipilar-pilar cahaya kaum Muslimin di tengah-tengahpekatnya kegelapan fitnah akhir zaman. Tidak hanya untuk keselamatan di dunia tetapi juga untuk keselamatan di akhirat kelak. Sehingga Islam begitu sempurna menjaga kaumnya. Tiada yang akan terlewat dari pandagannya. Karena Islam diturunkan langsung oleh Allah kepada Nabi Muhammad guna menjadi petunjuk bagi manusia. Islam juga akan selalu sesuai dengan tuntutan akhir zaman. Karena Allah mengetahui segala apa yang baik bagi hamba-Nya. Wallahu A'alam Bisshawab. rf/ Ilustrasi Google Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita! +Pasang iklan Gamis Syari Murah Terbaru Original FREE ONGKIR. Belanja Gamis syari dan jilbab terbaru via online tanpa khawatir ongkos kirim. Siap kirim seluruh Indonesia. Model kekinian, warna beragam. Adem dan nyaman dipakai. Cari Obat Herbal Murah & Berkualitas? Di sini Melayani grosir & eceran herbal dari berbagai produsen dengan > jenis produk yang kami distribusikan dengan diskon sd 60% Hub 0857-1024-0471 Dicari, Reseller & Dropshipper Tas Online Mau penghasilan tambahan? Yuk jadi reseller tas TBMR. Tanpa modal, bisa dikerjakan siapa saja dari rumah atau di waktu senggang. Daftar sekarang dan dapatkan diskon khusus reseller NABAWI HERBA Suplier dan Distributor Aneka Obat Herbal & Pengobatan Islami. Melayani Eceran & Grosir Minimal 350,000 dengan diskon 60%. Pembelian bisa campur produk > jenis produk.
hijab itu kewajiban bukan pilihan